Wednesday, October 29, 2008

Negara Wajib Hentikan Perkawinan Anak




Berita yang disiarkan oleh berbagai media masa tentang perkawinan Pujiono Cahyo Wicaksono usia 43 tahun dengan Lutfiana Ulfa usia 12 tahun merupakan berita yang meyedihkan untuk organisasi penegak Hak Asasi Manusia dan Hak-hak Perempuan dan Anak, serta keluarga pada umumnya di Indonesia.
Berita ini mengandaikan bahwa penegakkan hukum di Indonesia masih lemah dan tidak mempedulikan UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak serta UU Kekerasan dalam Rumah Tangga yang telah disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Selain itu, pemerintah Indonesia telah pula meratifikasi sejumlah instrumen hukum Internasional seperti CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), Hukum Universal Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia serta Konvensi Hak-hak Anak yang kesemuanya menegaskan pelarangan pernikahan anak-anak di bawah umur serta mewajibkan negara untuk melindungi keamanan, kesehatan, kesejahteraan serta hak-hak anak. Mengapa negara tidak melakukan fungsinya yang terpenting, yakni melindungi warga negaranya dari bahaya? Apalagi semua instrumen hukum baik di tingkat nasional maupun internasional telah tersedia? Negara wajib melindungi warga negaranya terutama melindungi anak-anak dari keadaan bahaya.

Perkawinan anak-anak (child marriage/child bride) telah berulang kali dilakukan penelitian dan publikasi oleh berbagai organisasi internasional seperti ICRW dan UNICEF tentang bahaya perkawinan anak-anak. Beberapa persoalan yang dikemukakan adalah resiko kesehatan dari anak-anak yang dinikahkan di bawah umur. Misalnya UNICEF, melaporkan pada tahun 2001, anak-anak di bawah umur yang hamil cenderung melahirkan bayi prematur, komplikasi melahirkan, bayi kurang gizi serta kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi. Ibu usia di bawah umur 15 tahun, lima kali mengandung resiko menderita pendarahan, sepsis,preeklampsia/eklampsia serta kesulitan melahirkan.

Kematian ibu di kalangan ibu yang masih usia anak-anak diestimasikan dua kali hingga lima kali lebih banyak dari pada ibu usia dewasa. Penelitian di Rajasthan, India (2007), menunjukkan ibu di bawah umur lebih cenderung melahirkan bayi yang cacat atau adanya gangguan kesehatan. Ibu yang melahirkan di bawah usia 18 tahun, memiliki resiko 60% lebih besar kematian bayi. Penelitian UNICEF tahun 2007, juga menunjukkan ibu yang melahirkan usia di bawah 18 tahun memiliki keahlian mengasuh bayi/anak (parenting skills) yang rendah sehingga seringkali memutuskan keputusan-keputusan yang salah untuk bayi mereka. Pegetahuan mereka tentang membesarkan anak masih kurang karena pendidikan mereka masih belum mencukupi.

Anak yang dikawinkan di usia muda menurut penelitian Barua (2007), mengandung resiko terkena penyakit kelamin dan HIV/AIDS lebih besar. Anak-anak yang dikawinkan dalam usia muda tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi di dalam kehidupan perkawinan mereka. Anak-anak tersebut tidak kuasa untuk menolak hubungan seks yang dipaksakan oleh suami mereka dan tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kontrasepsi dan bahaya penyakit seksual. Akibatnya, tidak dapat bernegosiasi soal hubungan seks yang aman (safe sex).

Anak-anak perempuan yang dikawinkan di usia muda lebih mudah mengindap penyakit HIV/AIDS karena vagina mereka masih belum sempurna dan sel-sel yang melindunginya masih belum kuat, juga cervix anak-anak mudah terlukai. Penelitian Barua menunjukkan bahaya ketularan HIV/AIDS pada pengantin anak-anak sangat mengkhawatirkan.

Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF (2005), mengangkat soal kekerasan domestik yang tinggi yang dialami anak-anak yang dinikahkan pada usia muda. Sebanyak 67% anak-anak yang dipaksa menikah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan 47% perempuan dewasa yang menikah. Hal ini disebabkan karena anak-anak tersebut lebih banyak dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua sehingga keputusan-keputusan rumah tangga dilakukan oleh suami mereka karena anak-anak ini tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi. Kekerasan seksual dalam kehidupan rumah tangga juga menunjukkan lebih banyak dialami oleh pengantin anak-anak ketimbang pengantin dewasa. Anak-anak di bawah usia 15 tahun mengalami kengerian dan trauma pada saat dipaksa untuk melakukan hubungan intim.

Menurut ICRW, praktek perkawinan anak merupakan praktek yang membahayakan anak-anak. Sayangnya praktek ini hingga abad ke-21 masih sulit dihapus. Data menunjukkan praktek pengantin anak-anak di Amerika Latin sebesar 6.6 juta, Asia Tenggara sebanyak 5.6 juta, Timur Tengah sebesar 3.3 juta dan Sub-Sahara Afrika sebesar 14.1 juta. Beberapa penyebab mengapa praktek ini masih saja ditemui antara lain karena kemiskinan. Di beberapa negara miskin, anak-anak perempuan dijadikan target untuk dijual atau dinikahkan agar orang tua terbebaskan dari beban ekonomi. Alasan lain adalah kepentingan kasta, tribal serta kekuatan ekonomi dan politik agar anak-anak mereka yang dikawinkan dapat memperkuat keturunan dan status sosial mereka.

Kehamilan sebelum pernikahan juga merupakan faktor pemicu untuk menikahkan anak-anak mereka agar tidak menanggung malu keluarga. Selain itu, alasan hukum negara yang lemah juga merupakan salah satu alasan penyebab mengapa anak-anak tidak terlindungi dari praktek biadab ini. Negara mengabaikan terjadinya pelanggaran hak-hak anak.

Seorang perempuan bernama Moegaroemah dari organisasi Putri Indonesia pada tahun 1928 di Kongres Perempuan, menyatakan bahwa masalah perkawinan anak-anak merupakan penyebab kemunduran perempuan di tanah air dan perlu perhatian yang besar. Ia mengatakan bahwa hatinya sangat sedih bila melihat murid-murid perempuan yang baru berumur 11 atau 12 tahun dikeluarkan dari sekolah sebab hendak dikawinkan. "Dengan berurai air mata anak itu meninggalkan gedung sekolah...pikirlah saudara-saudara, dapatkah ibu yang masih kekanak-kanakan itu memelihara, mendidik, dan membimbing anaknya dengan sempurna? Bagaimana bangsa kita dapat maju dan sejajar dengan bangsa lain bila putranya tidak mendapat pendidikan dan pembimbingan dengan sempurna?" (pidato Moegaroemah di Kongres Perempuan, 1928).

Bayangkan 80 tahun yang lalu persoalan perkawinan anak-anak telah ditentang oleh organisasi perempuan di tanah air ini bukan saja oleh ibu Moegaroemah tapi juga oleh Dr. Soetomo yang menguraikan bahwa perhimpunan Muhammadiyah, PSI dan SI telah mengutuk perbuatan tersebut. Seandainya ibu Moegaroemah dan Dr. Soetomo masih hidup di tahun 2008 ini betapa sedih hati mereka bahwa di tanah air yang telah berdaulat dan merdeka, negara Republik Indonesia, yang telah memiliki seperangkat undang-undang masih tetap tidak mampu melindungi anak-anak Indonesia.

Alangkah memprihatinkannya bahwa di negara Republik ini hukum negara hanya dipandang sebelah mata dan lebih menyedihkan lagi seorang wakil anggota DPR, Rosyad Shihab, dengan berani menyatakan di hadapan publik bahwa perkawinan anak tidak merupakan masalah. Bila pemerintah dan DPR tidak mampu melindungi anak-anak Indonesia, masih layakkah rakyat mempercayai kepemimpinan mereka?