Wednesday, November 12, 2008

"Power" dan Seks" di Dunia Akademis

Seorang alumnus Fakultas Hukum, UI, sedang mencari keadilan karena telah dilecehkan secara seksual oleh seorang dosen berinisial TN dari Fakultas Hukum UI (Kompas.com 10/11/08). Peristiwa pelecehan yang dia alami terjadi ketika ia masih menjadi mahasiswa UI. Sang dosen menepis tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa hubungannya dengan mahasiswa tersebut tidak dapat dipersoalkan karena merupakan hubungan “suka sama suka”. Benarkah sang dosen yang ahli hukum itu dapat berkelit dan bebas dari tindakan buruknya hanya karena ia berhubungan intim atas dasar persetujuan kedua belah pihak? Saya ingin berargumentasi di dalam tulisan ini bahwa hubungan personal yang dicampuradukkan dengan hubungan profesional yang melibatkan relasi seksual antara dosen dan mahasiswa merupakan persoalan moral yang problematik.

Relasi Seksual Dosen-Mahasiswa = Relasi Kekuasaan

Relasi seksual antara dosen dan mahasiswa merupakan topik yang provokatif dan sering dijumpai di dalam situasi akademis yang tidak transparan dalam kepemimpinannya serta memiliki manajerial sensitif gender yang buruk. Artinya, universitas di Indonesia jarang yang memiliki komisi etik yang bertugas untuk mengawasi prilaku kesewenangan dosen atau staf administrasi kampus yang menyalahgunakan kekuasaannya. Pemimpin kampus lebih sibuk memberikan sanksi kepada mahasiswa serta mengatur moral mahasiswa daripada membenahi dan memperbaiki moral diri. Tak ubahnya seperti anggota DPR yang lebih suka mengatur moral warga negaranya ketimbang moral anggota dewan itu sendiri. Inilah penyakit kronis kepemimpinan di Indonesia.

Itu sebabnya, ketika seorang dosen melakukan kesalahan fatal dalam menggunakan kekuasaannya sebagai dosen, dosen tersebut sama sekali tidak merasa bersalah. Ia tidak mengerti bahwa keterlibatan hubungan personal berakibat pada kredibilitas profesionalnya. Konon kabarnya, pelecehan seksual yang dilakukan sang dosen telah terjadi sebelumnya pada korban mahasiswa lainnya dalam bentuk pelecehan verbal, namun, si korban tak mengadukan sikap dosennya tersebut karena lingkungannya menahannya. Pelecehan verbal bagi mereka tidak terlalu penting dan lagi orang yang akan dilaporkan adalah orang yang memiliki kekuasaan atas nilai-nilai mata kuliahnya sehingga sangat beresiko.

Perkosaan, pelecehan seksual maupun verbal merupakan bagian dari definisi kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terjadi bila ada seorang atau sekelompok orang yang memiliki “kekuasaan atas” (power over) dan bukan “kekuasaan untuk” (power to) orang lain atau kelompok lain. Pendekatan “kekuasaan atas” merupakan pendekatan dominasi atau penindasan sedangkan “kekuasaan untuk” merupakan pendekatan keinginan untuk mencipta. Seseorang yang ditunjuk untuk berkuasa dapat menggunakan kekuasaannya dalam dua cara tersebut, yakni, menghancurkan (Kuasa atas) atau memberdayakan orang (Kuasa untuk). Oleh sebab itu, memiliki kuasa dalam sebuah jabatan merupakan tanggung jawab yang besar.

Tanggung jawab seseorang atau kelompok yang berkuasa meliputi tanggung jawab untuk melindungi mereka yang tidak berkuasa atau kelompok minoritas yang perlu dilindungi. Tanggung jawab orang atau kelompok yang berkuasa adalah memberdayakan pihak yang tidak berkuasa serta menghormati hak-hak mereka. Maka, “kekuasaan” dosen, negarawan, orangtua, majikan, dan sebagainya, merupakan kekuasaan yang bertumpu pada “kekuasaan untuk”. Untuk senantiasa menegakkan keadilan dan bukan melecehkan orang atau kelompok yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam hal kekuasaan relasi seksual, relasi ini lebih pelik, karena hubungan kekuasaan seringkali diwarnai oleh pendekatan “kekuasaan atas” yang lemah. Apalagi bila kekuasaan itu tidak seimbang, artinya, salah satu partisipan memiliki otoritas yang lebih tinggi. Maka jelas, hubungan seksual atau keintiman dosen-mahasiswa merupakan hubungan yang tidak setara. Di dalam kode etik profesi, hubungan yang tidak setara merupakan hubungan yang tidak dapat berjalan secara profesional karena tidak akan ada akuntabilitas dan transparansi.

Dalih “suka sama suka”

Seorang dosen bisa saja berdalih bahwa hubungan yang ia bina dengan mahasiswanya merupakan hubungan seksual “suka sama suka”, oleh sebab itu, hubungan antar dua orang dewasa tidak dapat dikategorikan sebagai hubungan yang menindas. Namun bagaimanapun, hubungan keintiman antar dosen dan mahasiswa terdapat sisi koersif. Artinya, ada pemaksaan di dalam hubungan tersebut karena sang dosen memiliki kuasa atas lulus tidaknya mahasiswa tersebut. Oleh sebab itu, si mahasiswa dalam relasinya dengan si dosen, tidak menjadi subyek lagi melainkan obyek seks. Dengan demikian, pikiran dan tubuh si mahasiswa akan dikontrol oleh si dosen tanpa ada ukuran rasional yang jelas. Sebab hubungan ini bukan hubungan atas dasar rasionalitas, mengembangkan daya pikir mahasiswa, akan tetapi, lebih pada kepentingan emosional belaka, mengeksploitasi perasaan si mahasiswa sehingga tak mampu untuk menolak dan kemudian menjadi submisif.

Dalih lain, hubungan keintiman dosen dan mahasiswa yang dikategorikan “suka sama suka” dianggap suatu “transaksi” biasa. Banyak orang melakukan transaksi seks misalnya dalam bentuk perdagang an seks untuk kepentingan finansial. Lalu mengapa transaksi seks untuk nilai mata kuliah atau kelulusan skripsi dianggap berbeda? Sebab transaksi seks untuk uang dilakukan atas dasar kepentingan uang dalam batasan pengertian perdagangan. Sedangkan transaksi seks untuk imbalan kelulusan tidak dapat diterapkan dalam batasan pengertian akademis. Artinya, transaksi berdagang dilakukan atas dasar saling kerjasama yang jujur dan dapat dipercaya tanpa adanya tekanan, oleh sebab itu, transaksi seks untuk uang masih memiliki kaidah kejujuran berdagang, sehingga secara moral masih bisa dipertanggungjawabkan meskipun masih bisa diperdebatkan. Namun, transaksi seks demi imbalan nilai kelulusan tidak dilakukan atas dasar kejujuran sebab bisa saja transaksi tersebut penuh keambiguan atau tekanan dan tidak menempatkan kedua subyek dengan setara.

Saya pernah mendengar terutama dari kolega teman-teman pengajar berjenis kelamin laki-laki di tempat saya mengajar di UI, bahwa terdapat mahasiswi-mahasiswi yang benar-benar sangat bangga bila berhasil menjadi “teman baik” seorang pengajar X atau profesor X karena ketenaran sang pengajar atau sang profesor. Dan juga sebaliknya, teman-teman pengajar laki-laki sangat girang sekali bila berhasil menjadi “teman baik” mahasiswi yang selebriti atau model, bahkan kalau bisa mahasiswi tersebut menjadi bimbingannya agar pertemuan semakin sering.

Dalam relasi seperti ini menurut saya sangat sulit untuk menjaga komunikasi yang netral. Dari pihak si mahasiswi setiap tawaran “keramahan” yang datang dari si pengajar akan ia sambut dengan baik karena menguntungkannya secara akademis. Problem mulai menjadi pelik bila sang dosen kemudian menuntut untuk memiliki relasi yang lebih dari relasi dosen-mahasiswa dan sebaliknya. Kadang tuntutan untuk memiliki relasi yang lebih terjadi karena adanya misinterpretasi tanda. Sang dosen menganggap kebinar-binaran mata mahasiswi adalah tanda cinta padahal kadang dalam posisi relasi dosen-mahasiswa, sang mahasiswi tidak memiliki pilihan lain selain untuk menampakkan diri sopan dan pura-pura kelihatan tertarik dengan ucapan-ucapan dosen karena tak ada mahasiswa yang ingin masuk dalam “daftar kesal” dosen. Demikian sebaliknya, keramahan dosen atau profesor bisa saja disalahartikan oleh mahasiswa sebagai tanda ingin menjadi “teman dekat” atau mungkin ketertarikan secara seksual. Padahal sang dosen atau profesor bersikap ramah pada setiap mahasiswa.

Inilah yang disebut dengan kondisi manusia, dimana kehidupan moral dan keputusan moral manusia menjadi bagian terpenting. Jadi, apakah salah bila seorang dosen menawarkan hubungan intim bila ia merasa dirinya lah yang sedang ditaksir si mahasiswi? Bahwa sang mahasiswi tersebut benar-benar memujanya dan ingin dekat dengannya secara personal. Menurut saya, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah salah, karena tawaran keintiman dosen dapat disalahartikan, disalahgunakan dan bukan bentuk komunikasi yang transparan sehingga sulit dicari akuntabilitasnya.

Jadi, bila sang dosen pada awalnya merasa bahwa “undangan keintiman” justeru datang dari si mahasiswa dan ia hanya mengikutinya saja, namun dalam perjalanan waktu sang dosen ingin keluar dari hubungan tersebut dan kemudian si mahasiswa berang dan berbalik menuduh sang dosen telah memanipulasi dirinya dan menekannya secara psikologis, maka, kesalahan tetap terletak pada si pengajar. Sang dosen ternyata salah dalam mempersepsikan hubungannya dengan si mahasiswi sehingga seharusnya ia tidak menawarkan hubungan keintiman.

Tindakannya tidak bisa dibiarkan dan harus mengandung konsekwensi, karena si dosen telah salah mengambil tindakan, yang dari awal sudah jelas bahwa fakta relasi seksual dalam bingkai kekuasaan dosen atas mahasiswa selalu dalam situasi dua individu yang tidak bebas sehingga seharusnya ia sebagai dosen dapat menghindar dari keputusan moral yang salah.

Pertanyaan moral

Apakah yang disebut dengan tindakan yang bermoral? Suatu tindakan bermoral bukan saja memiliki kewajiban pada kedua belah pihak yang terlibat yakni si dosen dan si mahasiswa saja, melainkan memiliki kewajiban pula pada pihak ketiga. Pihak ketiga dalam hal ini adalah pertanyaan keadilan bagi mahasiswa lainnya. Dapatkah si dosen berlaku adil terhadap mahasiswa lainnya bila ia telah memiliki hubungan intim (spesial) dengan satu mahasiswa. Dan bila si dosen berkuasa atas mahasiswa tersebut maka kegagalan maupun kesuksesan si mahasiswa dievaluasi berdasarkan penilaian subyektif dan bukan obyektif.

Dalam soal penjagaan obyektifitas, Peter Markie (1990) dan Deirde Goulash (2008) menjelaskan dalam tulisan mereka soal relasi dosen-mahasiswa bahwa hubungan dalam bentuk apapun harus memiliki prinsip keadilan bagi murid-murid lainnya. Apakah pertemanan seorang dosen dengan seorang mahasiswa dapat menjaga prinsip keadilan? Apakah akibat dari sebuah pertemanan, si dosen masih bisa menjaga kenetralannya? Markie mengambil sikap ekstrim untuk tidak memiliki hubungan apapun dengan mahasiswanya selain hubungan antara dosen dan mahasiswa dan tidak ingin meningkatkan hubungan tersebut pada tingkat keakraban sekalipun pertemanan biasa selama mahasiswa tersebut masih menjadi mahasiswanya.

Sedangkan Goulash fleksibel dalam mentolerir hubungan pertemanan biasa antara mahasiswa dan dosen meskipun ia tetap merasa hubungan tersebut lebih cendrung membuat komplikasi penilaian yang obyektif. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa bila hubungan pertemanan biasa antara dosen dan mahasiswa masih dapat menimbulkan conflict of interest, maka, bagaimana pula jadinya bila seorang dosen menjalin hubungan seksual dengan mahasiswanya? Yang jelas dosen tersebut dapat dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya secara profesional.

Kegagalan dosen untuk melakukan tugasnya secara profesional berarti perlu diberikan sanksi yang berat oleh pihak pimpinan universitas. Di sini pertanyaannya bukan terletak pada pertanggungjawaban moral si mahasiswa akan tetapi pada pertanggung jawaban moral si dosen.

Wednesday, November 5, 2008

Undang-Undang Porno dan Negara Moral


Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUUP) menjadi Undang-Undang Porno (UUP) pada hari kamis, tanggal 30 Oktober 2008, cukup mengejutkan. Sebab beberapa daerah seperti Jogya, Sulawesi Utara, Bali dan Papua cukup keras menentang disahkannya RUUP. Mereka khawatir UUP akan menjerat masyarakat karena ekspresi pakaian adat, seni dan tarian-tarian mereka yang bisa jadi dikategorkan sebagai porno. Adakah suara mereka didengar? Nyatanya suara mereka dianggap “angin lalu”. Hanya dua partai yakni PDIP dan PDS yang melakukan “walk out” tanda protes atas pengesahan RUUP.


Mengapa begitu penting RUUP dipertengkarkan antara kelompok pro-RUUP (yang diwakili kelompok konservatif) dan kelompok kontra-RUUP (yang diwakili kelompok moderat)? Perseteruan diantara kedua kelompok ini jelas menandakan Indonesia terbelah dalam pengaturan ruang publiknya, antara rakyat yang mengandalkan akal publik sehat dan rakyat yang mengandalkan doktrin agama. Simbol-simbol yang diusung oleh partai-partai yang mendukung RUUP ini pun jelas termasuk ucapan-ucapan yang “terpeleset” dari anggota DPR seperti; “UUP hadiah lebaran”, “masyarakat Papua harus belajar dari masyarakat Jawa”, dan terakhir kasus perkawinan anak yang tidak dianggap oleh seorang anggota DPR sebagai pelanggaran UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, namun sah sesuai agama yang dianut. Semua pernyataan-pernyataan tersebut mencemaskan rakyat Indonesia, benarkah anggota DPR tak mengerti hukum?


Hukum yang mengatur pornografi telah begitu banyaknya dan tinggal diimplementasi atau diamandemenkan. Sekarang ditambah lagi dengan UUP, hasil “pengototan” habis-habisan pelopor RUUP dari Partai Demokrat dan PKS.


Dimanakah kesalahan penalaran anggota DPR? Menurut saya paling tidak ada tiga kesalahan mendasar dari keputusan pengesahan UUP ini. Pertama, keputusan kebijakan negara dilakukan atas argumen moral dan bukan keadilan, kedua, keputusan kebijakan negara memakai asas utilitarian dan bukan menghormati hak-hak individu serta ketiga, keputusan kebijakan negara mengabaikan “prinsip mencelakai” (harm principle) sehingga UUP tidak mampu memberi rasa aman kepada masyarakat.

Moralitas Versus Keadilan


Dua menteri kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, Meutia Hatta (Menteri Pemberdayaan Perempuan) dan Muhammad Maftuh Basyuni (Menteri Agama), memandang perlu UUP dengan alasan untuk menjaga moralitas bangsa yaitu dengan melindungi perempuan dan anak dari bahaya pornografi. Meskipun timbul juga pertanyaan apakah laki-laki dengan demikian tidak perlu dilindungi dari pornografi? Namun, tampaknya penjagaan moralitas telah didefinisikan oleh negara hanya untuk perempuan dan anak-anak. Pendapat ini sebenarnya merupakan pendapat yang ditemui ribuan tahun yang lalu di Yunani dalam pikiran Plato. Di dalam dunia Plato, perempuan dan anak-anak tidak memiliki otoritas karena tidak memiliki cukup moralitas untuk memutuskan hidupnya sendiri, maka, diperlukan pengaturan terhadap mereka, yang mengatur tentu saja laki-laki yang menguasai negara.


Maka tak heran RUUP ditentang oleh mayoritas organisasi perempuan di Indonesia karena terdapat suatu “tanda” ketidakberdayaan perempuan sekaligus kemunafikan antara pengaturan moralitas dan perlindungan perempuan. Benarkah UUP melindungi ataukah untuk merestriksi tubuh perempuan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini timbul karena UUP lebih disemangati oleh pertanyaan moral dan bukan keadilan. Padahal perempuan mengalami ketidakadilan karena konstruksi sosial yang tidak adil. Jadi, titik tolak diskriminasi ada di ranah sosial bukan moral.
Inilah yang tidak dimengerti oleh pejabat pemerintah maupun DPR sehingga protes kelompok perempuan tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan gender anggota DPR yang minim. Teori membuktikan bahwa bila pengetahuan gender minim maka pengetahuan Hak Asasi Manusia pun juga minim, maka, tak heran pula UUP memasukkan definisi homoseksual dan lesbian sebagai penyimpangan seksual. Kesalahan fatal telah dilakukan di sini, hak-hak minoritas telah diabaikan.


Pertanyaan keadilan bagi kaum minoritas (perempuan, orientasi seks dan suku minoritas) merupakan pertanyaan yang sentral dalam penyusunan sebuah kebijakan. Keadilan yang seadil-adilnya hanya bisa dicapai lewat “mengurung” terlebih dahulu pandangan-pandangan agama yang dikemas oleh tujuan-tujuan politik tertentu. Sebab keadilan tidak dicapai lewat nilai-nilai moral melainkan lewat nilai-nilai politik yang disepakati seperti toleransi, adil (fairness), dan kerjasama sosial yang didasarkan saling menghormati. Nilai-nilai politis yang disepakati merupakan struktur dasar masyarakat dan esensi konstitusi, sedangkan nilai-nilai moral dan agama merupakan panduan hidup pribadi bersifat sukarela bukan keharusan.
Penyusunan sebuah kebijakan yang memerhatikan keadilan didasarkan pada nafas hak-hak individu dan bukan pada doktrin komprehensif pandangan agama tertentu. Di sinilah terjadi pemisahan yang jelas antara penyusunan kebijakan dengan dasar prinsip sekuler dan prinsip sakral.


Menghormati Hak-hak Individu


Negara dituntut berkonsentrasi pada prinsip-prinsip kebutuhan dasar seperti pendapatan, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, perumahan, dan sebagainya, sehingga setiap individu dapat menerapkan kebebasan dasarnya. Tidak ada alasan bagi negara untuk misalnya mencampuri urusan preferensi seksual seseorang atau mengatur kebebasan ekspresi orang dewasa, kecuali bila ekspresi tersebut membahayakan atau melecehkan kelompok tertentu. Namun, batasan negara untuk mengatur pun hanya sebatas mengatur waktu, tempat, dan cara-cara ekspresi dan bukan isi (substansi) ekspresi itu sendiri. Hal-hal inilah yang dituntut oleh pendukung kontra-UUP, pengaturan yang memperkuat undang-undang yang telah ada.

Di alam demokrasi, negara dituntut berperan untuk menjaga ruang publik yang sehat dengan menghormati kebebasan warga negaranya dan tidak bermain dalam permainan politik identitas. Artinya, sebuah undang-undang yang dihasilkan tidak ditentukan oleh konsep-konsep yang final yang tidak dapat diperdebatkan. Oleh sebab itu, kebijakan yang disusun tidak dapat memasukkan atau menyelundupkan keyakinan agama tertentu. Begitu ada penyelundupan konsep yang final, maka, terjadi pelanggaran terhadap hak-hak individu.


Sebagai contoh, bukankah dalam banyak peraturan-peraturan daerah yang memakai dasar hukum syariah (konsep final) telah banyak korban yang berjatuhan? Misalnya aturan-aturan daerah tentang cara berpakaian perempuan atau pengujian kitab suci sebagai persyaratan kepala daerah, dan sebagainya. Aturan-aturan semacam itu bukan merupakan urusan publik tapi urusan masing-masing individu lalu mengapa pula pemerintah harus memasuki wilayah urusan individu?


Beberapa argumen yang memaksakan negara untuk mecampuri urusan individu adalah prinsip utilitarian yakni: hukum dan kebijakan negara didasarkan pada kepentingan dan kebaikan orang banyak atau mayoritas selalu menang. Pikiran mayoritas yang buta semacam ini sebenarnya membahayakan ruang publik. Sebab bisakah agama mayoritas menindas agama minoritas demi dan untuk alasan mayoritas? Dalam prinsip egalitarian (yang berseberangan dengan utilitarian) mayoritas justeru harus melindungi hak-hak minoritas agar kesetaraan di dalam masyarakat tercapai dan ruang publik tetap terjaga sehat.

Negara Moral Republik Indonesia

Sangat jelas bahwa UUP tidak memiliki prinsip melindungi sebagaimana layaknya undang-undang dibuat dengan menguji “prinsip mencelakai” (harm principle) . Apakah sesungguhnya UU ini benar-benar concern padamasalah pornografi atau ada hal-hal lain yang disembunyikan? Pasal yang menyatakan bahwa masyarakat dapat turut serta dalam mengawasi pornografi mengandung pengertian bahwa polisi moral dibenarkan oleh negara. Anggota DPR dan pemerintah tidak menyadari bahwa peran polisi moral di negara ini justeru telah memicu banyak konflik. Pembakaran tempat-tempat ibadah dan gedung-gedung oleh kelompok-kelompok yang merasa “lebih bermoral” telah mewarnai kehidupan di Indonesia. Dalam beberapa kasus, polisi bahkan tidak dapat melakukan apa-apa. Kini UUP menyediakan ruang legalitas bagi kelompok-kelompok yang gemar melakukan intimidasi.


Membayangkan apa yang akan terjadi sungguh mengerikan. Inikah Indonesia yang kita kehendaki? Negara Moral Republik Indonesia dan bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Monday, November 3, 2008

Bekerja Voluntir untuk Obama



Bekerja secara sukarela sudah merupakan kebiasaan kehidupan masyarakat Amerika. Selama satu tahun setengah tinggal di Maryland, keterlibatan komunitas untuk membantu apa saja sangat besar. Misalnya, membantu untuk kegiatan-kegiatan sekolah seperti menggalang dana untuk memperbaiki fasilitas sekolah dengan memasak kue dan menjualnya atau mengorganisasikan "fun run" dan lain sebagainya. Para orang tua pun banyak yang membentuk tim olah raga di sekitar komunitasnya agar anak-anak dapat bermain dalam tim olah raga pilihannya apakah tim olahraga basket, bola kaki dan seterusnya. Kadang saya kagum dengan sikap kerja sukarela para orang tua ini yang benar-benar berdedikasi untuk memajukan komunitasnya dan memberikan perhatian pada perkembangan anak-anaknya.




Misalnya Dwayne, tetangga saya, seorang pengacara yang sibuk luar biasa, tetap bisa meluangkan waktu untuk menjadi pelatih tim basket bagi anak-anak tetangga. Beberapa kali saya melihat Dwayne tergopoh-gopoh pulang kantor dan segera mengganti baju untuk melatih timnya yang terdiri dari anak-anak umur 7 hingga 8 tahun. Juga Anna, seorang dosen di University of Maryland yang masih meluangkan waktu untuk melatih tim bola anak-anak perempuan di komuitasnya. Tim bola asuhannya diikuti anak-anak perempuan berumur 5-6 tahun. Tim asuhannya telah menang beberapa kali melawan tim-tim lainnya dan Anna begitu bangga.




Ketika teman saya mengajak untuk voluntir membantu kampanye Barack Obama, maka saya tak kuasa menolak. Apalagi teman saya memberikan alasan mengapa penting saat ini terjun ke lokasi mempengaruhi para pemilih yang masih belum yakin dengan Barak Obama. Oleh sebab itu, saya pun di hari minggu pagi menempuh perjalan 2,5 jam ke Virginia ke daerah yang mayoritas dikuasai oleh McCain-Palin.




Kami diberikan petunjuk yang lengkap tahap-tahap yang harus ditempuh oleh relawan-relawan lainnya. Para relawan terdiri dari tua dan muda dari berbagai ras. Mereka rupanya telah bekerja sejak pukul 6 pagi. Tahap pertama, kami diminta untuk ke markas Obama di Virginia dan melaporkan diri. Di markas tersebut telah berkumpul banyak orang untuk mensukseskan Virginia untuk Obama. Virginia memang salah satu negara bagian yang bisa menentukan dan tempat yang belum pernah dimenangkan oleh Partai Demokrat. Setelah kami tanda tangan dan mengambil beberapa stiker dan pin, kami diminta untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi lain untuk mendapatkan instruksi selanjutnya.




Di tahap kedua ini, kami berkumpul di jalanan biasa dan dipandu oleh seorang direktur lapangan untuk memahami detail program-program Obama. Direktur lapangan kami seorang anak muda keturunan Afrika-Amerika yang sangat energetik dan menyenangkan. Ia datang dari California khusus bekerja sebagai relawan di Virginia. Anak muda ini sungguh berdedikasi.




Di dalam pertemuan, diskusi tentang posisi Obama dalam soal kesehatan, ekonomi, lingkungan dan isu-isu sosial seperti aborsi dibahas. Seorang relawan mengatakan bahwa ia sangat tertarik dengan program kesehatan Obama yang akan melakukan "universal health care", artinya, semua orang akan mendapatkan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma. Seseorang lagi, mengatakan bahwa lingkungan menjadi perhatian utama dia karena itu ia ingin Amerika menciptakan lapangan kerja untuk energi bersih, berkonsentrasi dalam pengembangan "green jobs". Setelah berdiskusi lama, masing-masing diberikan kertas panduan bagaimana berbicara dengan para pemilih yang masih belum menentukan pilihannya. Pertama, relawan tidak boleh memaksa orang tapi mengajak mereka berdiskusi apa kelebihan program-program Obama ketimbang McCain. Kedua, memberikan bacaan dan data-data yang mereka butuhkan tentang program Obama, ketiga bila mereka tertarik, memberikan dukungan kepada mereka untuk jangan lupa memilih Obama pada tanggal 4 November dan bila mereka tidak tertarik tetap mengucapkan terima kasih atas waktu mereka.




Setelah paham pekerjaan yang akan kami lakukan, kami diberikan map yang berisi nama-nama pemilih dan alamat-alamat mereka. Disamping nama-nama tersebut diberikan catatan-catatan dengan inisial (D) tanda selama pemilihan selalu memilih Partai Demokrat, atau (R) selama pemilihan selalu memilih Republik atau LD (condong Demokrat), LR (condong Republik, ND (belum menentukan) dan R (menolak diajak berbicara soal program Obama). Catatan-catatan tersebut berguna bagi kami agar kami bisa mengetahui "medan" yang akan ditempuh.




Saya mendapatkan tugas untuk mendatangi sekitar 36 rumah hari itu. Lokasi pertama yang saya datangi bertempat di daerah yang penuh dengan tanda Mc-Cain-Palin di halaman rumah mereka. Hati saya pun kecut. Namun begitu pintu rumah dibuka dan kata-kata saya meluncur begitu saja sambil tak lupa tersenyum manis, mereka pun kelihatan santai dan terbuka memberitahu saya alasan-alasan mereka untuk memilih McCain. Kebanyakan mereka telah melakukan riset di internet tentang posisi McCain dalam setiap program yang ia perjuangkan dan kini menimbang posisi Obama.




Saya memang mendapat tugas untuk mendatangi kebanyakan perempuan yang masih belum mau memilih Obama entah karena mereka kagum dengan Palin atau kecewa karena Hillary kalah atau memang fanatik Partai Republik. Saya selalu berusaha untuk menggiring pembicaraan ke masalah ekonomi misalnya bagaimana ekonomi AS menjadi lemah selama dipimpin Partai Republik dan bagaimana ekonomi AS sangat kuat ketika dipimpin Partai Demokrat oleh Bill Clinton. Tampaknya pembicaraan ekonomi merupakan pembicaraan yang sangat mereka perhatikan dan keluhan-keluhan ekonomi merupakan hal yang utama buat mereka.




Sebagian besar para pemilih yang didatangi di rumah-rumah mereka rata-rata menyambut kami dengan baik dan bersedia untuk diajak diskusi. Beberapa rumah memang menunjukkan ketidak senangan mereka dengan kami karena mereka tidak setuju sama sekali dengan program-program Obama. Ada beberapa orang yang melempar brosur kami dan menyuruh kami pergi. Namun, segala perlakuan kami terima dengan baik dan tetap tidak lupa mengucapkan terima kasih atas waktu dan perhatian mereka.




Pengalaman saya berbicara dengan perempuan (ibu-ibu) sangat mudah dan diskusi bisa mengalir soal pendidikan anak dan harga-harga di supermarket. Mereka lebih mau berdiskusi dan mendengarkan pendapat-pendapat kami. Keluarga yang kami datangi terdiri dari berbagai macam ras. Saya merasa keluarga Asia-Amerika sangat hati-hati dalam mengemukakan pendapat mereka tapi sangat mau untuk belajar tentang program-program Obama. Keluarga Asia-Amerika pun cendrung terbelah, orang tua lebih memihak McCain sedangkan anak-anaknya condong memilih Obama. Yang paling ramah dan ceria tentu dari keluarga ras kulit hitam yang hampir semuanya senang mengobrol dengan kami dan hampir semuanya memilih Obama. Hanya ada satu perempuan tua keturunan Afrika-Amerika yang masih ragu-ragu. Pasalnya ia merasa McCain telah terbukti berkorban untuk negaranya dan Obama masih muda dan belum ada hasil karya untuk negaranya. Maka, ia merasa lebih bertanggung jawab bila memilih McCain.




Ada pula kejadian seorang ibu dengan anak laki-lakinya bertengkar. Pasalnya si ibu memilih McCain karena McCain memilih perempuan sebagai wakil presidennya dan si anak memilih Obama karena mengiginkan perubahan dan ingin menyaksikan sejarah, Obama sebagai presiden keturunan Afrika-Amerika pertama. Pertengkaran antara si ibu dan anak sangat seru tanpa menghiraukan saya yang akhirnya pamit pulang.




Hari menunjukkan pukul 5 sore dan akhirnya tugas saya selesai. Saya kembali ke lokasi dan melapor kepada direktur lapangan kami sambil memberikan data-data yang telah kami catat. Rupanya telah berkumpul anak-anak muda keturunan dari berbagai negara seperti Cina, India, Afrika dan Amerika Latin siap menerjang malam bekerja untuk Obama. Kuping mereka rata-rata disumpal ipod dan sibuk mengecek email di HP mereka. Satu-satunya yang menandakan mereka orang Amerika adalah gaya bicara mereka yang tulen gaya Amerika. Rupanya mereka lahir dan besar di Amerika dan merasa Amerika adalah negara mereka sendiri. Kini mereka mengingkan Amerika yang merepresentasikan pluralitas, oleh sebab itu, Obama menjadi pilihan mereka. Ketika mereka tahu saya dari Indonesia, mereka tersenyum lebar dan mengatakan telah melihat di CNN sekolah Obama di Jakarta.




"Jakarta is cool man!". Saya pun tersenyum geli melihat tingkah mereka.




Angin sudah mulai menusuk di senja hari di bulan awal November, saya bergegas pulang sambil memperhatikan para relawan lainnya yang masih asyik berdiskusi politik dan tetap berjanji kembali ke lokasi esok pagi-pagi bekerja demi Obama. Saya tak tahu apakah akan kembali lagi namun yang pasti bekerja sebagai relawan untuk Obama dalam pemilihan yang sangat bersejarah ini sungguh merupakan suatu pengalaman yang tak akan terlupakan.












Wednesday, October 29, 2008

Negara Wajib Hentikan Perkawinan Anak




Berita yang disiarkan oleh berbagai media masa tentang perkawinan Pujiono Cahyo Wicaksono usia 43 tahun dengan Lutfiana Ulfa usia 12 tahun merupakan berita yang meyedihkan untuk organisasi penegak Hak Asasi Manusia dan Hak-hak Perempuan dan Anak, serta keluarga pada umumnya di Indonesia.
Berita ini mengandaikan bahwa penegakkan hukum di Indonesia masih lemah dan tidak mempedulikan UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak serta UU Kekerasan dalam Rumah Tangga yang telah disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Selain itu, pemerintah Indonesia telah pula meratifikasi sejumlah instrumen hukum Internasional seperti CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), Hukum Universal Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia serta Konvensi Hak-hak Anak yang kesemuanya menegaskan pelarangan pernikahan anak-anak di bawah umur serta mewajibkan negara untuk melindungi keamanan, kesehatan, kesejahteraan serta hak-hak anak. Mengapa negara tidak melakukan fungsinya yang terpenting, yakni melindungi warga negaranya dari bahaya? Apalagi semua instrumen hukum baik di tingkat nasional maupun internasional telah tersedia? Negara wajib melindungi warga negaranya terutama melindungi anak-anak dari keadaan bahaya.

Perkawinan anak-anak (child marriage/child bride) telah berulang kali dilakukan penelitian dan publikasi oleh berbagai organisasi internasional seperti ICRW dan UNICEF tentang bahaya perkawinan anak-anak. Beberapa persoalan yang dikemukakan adalah resiko kesehatan dari anak-anak yang dinikahkan di bawah umur. Misalnya UNICEF, melaporkan pada tahun 2001, anak-anak di bawah umur yang hamil cenderung melahirkan bayi prematur, komplikasi melahirkan, bayi kurang gizi serta kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi. Ibu usia di bawah umur 15 tahun, lima kali mengandung resiko menderita pendarahan, sepsis,preeklampsia/eklampsia serta kesulitan melahirkan.

Kematian ibu di kalangan ibu yang masih usia anak-anak diestimasikan dua kali hingga lima kali lebih banyak dari pada ibu usia dewasa. Penelitian di Rajasthan, India (2007), menunjukkan ibu di bawah umur lebih cenderung melahirkan bayi yang cacat atau adanya gangguan kesehatan. Ibu yang melahirkan di bawah usia 18 tahun, memiliki resiko 60% lebih besar kematian bayi. Penelitian UNICEF tahun 2007, juga menunjukkan ibu yang melahirkan usia di bawah 18 tahun memiliki keahlian mengasuh bayi/anak (parenting skills) yang rendah sehingga seringkali memutuskan keputusan-keputusan yang salah untuk bayi mereka. Pegetahuan mereka tentang membesarkan anak masih kurang karena pendidikan mereka masih belum mencukupi.

Anak yang dikawinkan di usia muda menurut penelitian Barua (2007), mengandung resiko terkena penyakit kelamin dan HIV/AIDS lebih besar. Anak-anak yang dikawinkan dalam usia muda tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi di dalam kehidupan perkawinan mereka. Anak-anak tersebut tidak kuasa untuk menolak hubungan seks yang dipaksakan oleh suami mereka dan tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kontrasepsi dan bahaya penyakit seksual. Akibatnya, tidak dapat bernegosiasi soal hubungan seks yang aman (safe sex).

Anak-anak perempuan yang dikawinkan di usia muda lebih mudah mengindap penyakit HIV/AIDS karena vagina mereka masih belum sempurna dan sel-sel yang melindunginya masih belum kuat, juga cervix anak-anak mudah terlukai. Penelitian Barua menunjukkan bahaya ketularan HIV/AIDS pada pengantin anak-anak sangat mengkhawatirkan.

Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF (2005), mengangkat soal kekerasan domestik yang tinggi yang dialami anak-anak yang dinikahkan pada usia muda. Sebanyak 67% anak-anak yang dipaksa menikah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan 47% perempuan dewasa yang menikah. Hal ini disebabkan karena anak-anak tersebut lebih banyak dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua sehingga keputusan-keputusan rumah tangga dilakukan oleh suami mereka karena anak-anak ini tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi. Kekerasan seksual dalam kehidupan rumah tangga juga menunjukkan lebih banyak dialami oleh pengantin anak-anak ketimbang pengantin dewasa. Anak-anak di bawah usia 15 tahun mengalami kengerian dan trauma pada saat dipaksa untuk melakukan hubungan intim.

Menurut ICRW, praktek perkawinan anak merupakan praktek yang membahayakan anak-anak. Sayangnya praktek ini hingga abad ke-21 masih sulit dihapus. Data menunjukkan praktek pengantin anak-anak di Amerika Latin sebesar 6.6 juta, Asia Tenggara sebanyak 5.6 juta, Timur Tengah sebesar 3.3 juta dan Sub-Sahara Afrika sebesar 14.1 juta. Beberapa penyebab mengapa praktek ini masih saja ditemui antara lain karena kemiskinan. Di beberapa negara miskin, anak-anak perempuan dijadikan target untuk dijual atau dinikahkan agar orang tua terbebaskan dari beban ekonomi. Alasan lain adalah kepentingan kasta, tribal serta kekuatan ekonomi dan politik agar anak-anak mereka yang dikawinkan dapat memperkuat keturunan dan status sosial mereka.

Kehamilan sebelum pernikahan juga merupakan faktor pemicu untuk menikahkan anak-anak mereka agar tidak menanggung malu keluarga. Selain itu, alasan hukum negara yang lemah juga merupakan salah satu alasan penyebab mengapa anak-anak tidak terlindungi dari praktek biadab ini. Negara mengabaikan terjadinya pelanggaran hak-hak anak.

Seorang perempuan bernama Moegaroemah dari organisasi Putri Indonesia pada tahun 1928 di Kongres Perempuan, menyatakan bahwa masalah perkawinan anak-anak merupakan penyebab kemunduran perempuan di tanah air dan perlu perhatian yang besar. Ia mengatakan bahwa hatinya sangat sedih bila melihat murid-murid perempuan yang baru berumur 11 atau 12 tahun dikeluarkan dari sekolah sebab hendak dikawinkan. "Dengan berurai air mata anak itu meninggalkan gedung sekolah...pikirlah saudara-saudara, dapatkah ibu yang masih kekanak-kanakan itu memelihara, mendidik, dan membimbing anaknya dengan sempurna? Bagaimana bangsa kita dapat maju dan sejajar dengan bangsa lain bila putranya tidak mendapat pendidikan dan pembimbingan dengan sempurna?" (pidato Moegaroemah di Kongres Perempuan, 1928).

Bayangkan 80 tahun yang lalu persoalan perkawinan anak-anak telah ditentang oleh organisasi perempuan di tanah air ini bukan saja oleh ibu Moegaroemah tapi juga oleh Dr. Soetomo yang menguraikan bahwa perhimpunan Muhammadiyah, PSI dan SI telah mengutuk perbuatan tersebut. Seandainya ibu Moegaroemah dan Dr. Soetomo masih hidup di tahun 2008 ini betapa sedih hati mereka bahwa di tanah air yang telah berdaulat dan merdeka, negara Republik Indonesia, yang telah memiliki seperangkat undang-undang masih tetap tidak mampu melindungi anak-anak Indonesia.

Alangkah memprihatinkannya bahwa di negara Republik ini hukum negara hanya dipandang sebelah mata dan lebih menyedihkan lagi seorang wakil anggota DPR, Rosyad Shihab, dengan berani menyatakan di hadapan publik bahwa perkawinan anak tidak merupakan masalah. Bila pemerintah dan DPR tidak mampu melindungi anak-anak Indonesia, masih layakkah rakyat mempercayai kepemimpinan mereka?