Wednesday, November 5, 2008

Undang-Undang Porno dan Negara Moral


Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUUP) menjadi Undang-Undang Porno (UUP) pada hari kamis, tanggal 30 Oktober 2008, cukup mengejutkan. Sebab beberapa daerah seperti Jogya, Sulawesi Utara, Bali dan Papua cukup keras menentang disahkannya RUUP. Mereka khawatir UUP akan menjerat masyarakat karena ekspresi pakaian adat, seni dan tarian-tarian mereka yang bisa jadi dikategorkan sebagai porno. Adakah suara mereka didengar? Nyatanya suara mereka dianggap “angin lalu”. Hanya dua partai yakni PDIP dan PDS yang melakukan “walk out” tanda protes atas pengesahan RUUP.


Mengapa begitu penting RUUP dipertengkarkan antara kelompok pro-RUUP (yang diwakili kelompok konservatif) dan kelompok kontra-RUUP (yang diwakili kelompok moderat)? Perseteruan diantara kedua kelompok ini jelas menandakan Indonesia terbelah dalam pengaturan ruang publiknya, antara rakyat yang mengandalkan akal publik sehat dan rakyat yang mengandalkan doktrin agama. Simbol-simbol yang diusung oleh partai-partai yang mendukung RUUP ini pun jelas termasuk ucapan-ucapan yang “terpeleset” dari anggota DPR seperti; “UUP hadiah lebaran”, “masyarakat Papua harus belajar dari masyarakat Jawa”, dan terakhir kasus perkawinan anak yang tidak dianggap oleh seorang anggota DPR sebagai pelanggaran UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, namun sah sesuai agama yang dianut. Semua pernyataan-pernyataan tersebut mencemaskan rakyat Indonesia, benarkah anggota DPR tak mengerti hukum?


Hukum yang mengatur pornografi telah begitu banyaknya dan tinggal diimplementasi atau diamandemenkan. Sekarang ditambah lagi dengan UUP, hasil “pengototan” habis-habisan pelopor RUUP dari Partai Demokrat dan PKS.


Dimanakah kesalahan penalaran anggota DPR? Menurut saya paling tidak ada tiga kesalahan mendasar dari keputusan pengesahan UUP ini. Pertama, keputusan kebijakan negara dilakukan atas argumen moral dan bukan keadilan, kedua, keputusan kebijakan negara memakai asas utilitarian dan bukan menghormati hak-hak individu serta ketiga, keputusan kebijakan negara mengabaikan “prinsip mencelakai” (harm principle) sehingga UUP tidak mampu memberi rasa aman kepada masyarakat.

Moralitas Versus Keadilan


Dua menteri kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, Meutia Hatta (Menteri Pemberdayaan Perempuan) dan Muhammad Maftuh Basyuni (Menteri Agama), memandang perlu UUP dengan alasan untuk menjaga moralitas bangsa yaitu dengan melindungi perempuan dan anak dari bahaya pornografi. Meskipun timbul juga pertanyaan apakah laki-laki dengan demikian tidak perlu dilindungi dari pornografi? Namun, tampaknya penjagaan moralitas telah didefinisikan oleh negara hanya untuk perempuan dan anak-anak. Pendapat ini sebenarnya merupakan pendapat yang ditemui ribuan tahun yang lalu di Yunani dalam pikiran Plato. Di dalam dunia Plato, perempuan dan anak-anak tidak memiliki otoritas karena tidak memiliki cukup moralitas untuk memutuskan hidupnya sendiri, maka, diperlukan pengaturan terhadap mereka, yang mengatur tentu saja laki-laki yang menguasai negara.


Maka tak heran RUUP ditentang oleh mayoritas organisasi perempuan di Indonesia karena terdapat suatu “tanda” ketidakberdayaan perempuan sekaligus kemunafikan antara pengaturan moralitas dan perlindungan perempuan. Benarkah UUP melindungi ataukah untuk merestriksi tubuh perempuan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini timbul karena UUP lebih disemangati oleh pertanyaan moral dan bukan keadilan. Padahal perempuan mengalami ketidakadilan karena konstruksi sosial yang tidak adil. Jadi, titik tolak diskriminasi ada di ranah sosial bukan moral.
Inilah yang tidak dimengerti oleh pejabat pemerintah maupun DPR sehingga protes kelompok perempuan tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan gender anggota DPR yang minim. Teori membuktikan bahwa bila pengetahuan gender minim maka pengetahuan Hak Asasi Manusia pun juga minim, maka, tak heran pula UUP memasukkan definisi homoseksual dan lesbian sebagai penyimpangan seksual. Kesalahan fatal telah dilakukan di sini, hak-hak minoritas telah diabaikan.


Pertanyaan keadilan bagi kaum minoritas (perempuan, orientasi seks dan suku minoritas) merupakan pertanyaan yang sentral dalam penyusunan sebuah kebijakan. Keadilan yang seadil-adilnya hanya bisa dicapai lewat “mengurung” terlebih dahulu pandangan-pandangan agama yang dikemas oleh tujuan-tujuan politik tertentu. Sebab keadilan tidak dicapai lewat nilai-nilai moral melainkan lewat nilai-nilai politik yang disepakati seperti toleransi, adil (fairness), dan kerjasama sosial yang didasarkan saling menghormati. Nilai-nilai politis yang disepakati merupakan struktur dasar masyarakat dan esensi konstitusi, sedangkan nilai-nilai moral dan agama merupakan panduan hidup pribadi bersifat sukarela bukan keharusan.
Penyusunan sebuah kebijakan yang memerhatikan keadilan didasarkan pada nafas hak-hak individu dan bukan pada doktrin komprehensif pandangan agama tertentu. Di sinilah terjadi pemisahan yang jelas antara penyusunan kebijakan dengan dasar prinsip sekuler dan prinsip sakral.


Menghormati Hak-hak Individu


Negara dituntut berkonsentrasi pada prinsip-prinsip kebutuhan dasar seperti pendapatan, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, perumahan, dan sebagainya, sehingga setiap individu dapat menerapkan kebebasan dasarnya. Tidak ada alasan bagi negara untuk misalnya mencampuri urusan preferensi seksual seseorang atau mengatur kebebasan ekspresi orang dewasa, kecuali bila ekspresi tersebut membahayakan atau melecehkan kelompok tertentu. Namun, batasan negara untuk mengatur pun hanya sebatas mengatur waktu, tempat, dan cara-cara ekspresi dan bukan isi (substansi) ekspresi itu sendiri. Hal-hal inilah yang dituntut oleh pendukung kontra-UUP, pengaturan yang memperkuat undang-undang yang telah ada.

Di alam demokrasi, negara dituntut berperan untuk menjaga ruang publik yang sehat dengan menghormati kebebasan warga negaranya dan tidak bermain dalam permainan politik identitas. Artinya, sebuah undang-undang yang dihasilkan tidak ditentukan oleh konsep-konsep yang final yang tidak dapat diperdebatkan. Oleh sebab itu, kebijakan yang disusun tidak dapat memasukkan atau menyelundupkan keyakinan agama tertentu. Begitu ada penyelundupan konsep yang final, maka, terjadi pelanggaran terhadap hak-hak individu.


Sebagai contoh, bukankah dalam banyak peraturan-peraturan daerah yang memakai dasar hukum syariah (konsep final) telah banyak korban yang berjatuhan? Misalnya aturan-aturan daerah tentang cara berpakaian perempuan atau pengujian kitab suci sebagai persyaratan kepala daerah, dan sebagainya. Aturan-aturan semacam itu bukan merupakan urusan publik tapi urusan masing-masing individu lalu mengapa pula pemerintah harus memasuki wilayah urusan individu?


Beberapa argumen yang memaksakan negara untuk mecampuri urusan individu adalah prinsip utilitarian yakni: hukum dan kebijakan negara didasarkan pada kepentingan dan kebaikan orang banyak atau mayoritas selalu menang. Pikiran mayoritas yang buta semacam ini sebenarnya membahayakan ruang publik. Sebab bisakah agama mayoritas menindas agama minoritas demi dan untuk alasan mayoritas? Dalam prinsip egalitarian (yang berseberangan dengan utilitarian) mayoritas justeru harus melindungi hak-hak minoritas agar kesetaraan di dalam masyarakat tercapai dan ruang publik tetap terjaga sehat.

Negara Moral Republik Indonesia

Sangat jelas bahwa UUP tidak memiliki prinsip melindungi sebagaimana layaknya undang-undang dibuat dengan menguji “prinsip mencelakai” (harm principle) . Apakah sesungguhnya UU ini benar-benar concern padamasalah pornografi atau ada hal-hal lain yang disembunyikan? Pasal yang menyatakan bahwa masyarakat dapat turut serta dalam mengawasi pornografi mengandung pengertian bahwa polisi moral dibenarkan oleh negara. Anggota DPR dan pemerintah tidak menyadari bahwa peran polisi moral di negara ini justeru telah memicu banyak konflik. Pembakaran tempat-tempat ibadah dan gedung-gedung oleh kelompok-kelompok yang merasa “lebih bermoral” telah mewarnai kehidupan di Indonesia. Dalam beberapa kasus, polisi bahkan tidak dapat melakukan apa-apa. Kini UUP menyediakan ruang legalitas bagi kelompok-kelompok yang gemar melakukan intimidasi.


Membayangkan apa yang akan terjadi sungguh mengerikan. Inikah Indonesia yang kita kehendaki? Negara Moral Republik Indonesia dan bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia?

7 comments:

Anonymous said...

Aduh mBak, aku menitikkan air mata membaca tulisanmu ini. Sungguh ngeri benar kondisi negara bangsa kita ke depan. Apa kita ini masih manusia?

Anonymous said...

betul mbak, saya setuju..
memang pola penalaran para anggota legislatif perlu direkonstruksi..
paling2 juga UUnya ga dipake.. atau dipake buat ngejegal artis dangdut yang lg naik daun ;p

Unknown said...

Dear Mbak Gadis...

saya rustika herlambang, dari majalah dewi.. kami berencana untuk wawancara profil Anda untuk majalah dewi.. dimana kami bisa hubungi Anda? terima kasih

salam,
tika

espito said...
This comment has been removed by the author.
espito said...

Long Live ( In the Hell ) UU Pornografi :-p

salam kenal..

Unknown said...

Pemberdayaan perempuan dimanapun di dunia dengan mengeploitasi rambut, bibir basah, betis, dada, pantat, paha sudah tidak bisa dihilangkan....apa ini termasuk memberdayakan perempuan??? realistis sajalah bahwa perempuan suka dan mau dengan apa yg mereka sudah pertujukkan..!!!

BOMB d sign said...

waktu masih bernama RUU APP itu kepanjangannya R U Understand About Protecting Paranoia?
Dan kini jadi UU Parnografi.